Pertaktikan Jerman Desak PT PAL Segera Penuhi Putusan Arbitrase beserta Penetapan PN Pusat

BERITA - JAKARTA. PT PAL Indonesia kembali diingatkan soal pemenuhan putusan arbitrase The London Maritime Arbitrators Association (LMAA) terkait pembuatan kapal Larch Arrow dan Birch Arrow ala 2014 lintas.
Putusan itu mewajibkan PT PAL membayar ganti rugi kepada pihak Reederei M. Lauterjung bak pemesan dua kapal tercatat.
“Untuk perhitungan sejumlah sampai akhir tahun 2021, PT PAL mendapat total kewajiban pembayaran kerugian kepada klien kami kurang lebih seagam US$ 270.000 maka GBP 12.000,” ujar M Iqbal Hadromi dari Kantor Hukum Hadromi & Partners selaku Kuasa Hukum Reederei M. Lauterjung paling dalam kecerahan tertulisnya, Kamis (19/5).
Kasus ini bermula ketika perusahaan Jerman, Reederei M. Lauterjung, memesan dua buah kapal kepada PT PAL ala 2004 silam. Namun, kapal-kapal tercatat tidak kunjung dibuat.
Akibatnya, ala 2014 pertindakanan pelat merah tersebut digugat dekat arbitrase The London Maritime Arbitrators Association (LMAA). Putusannya, PT. PAL kalah bersama diwajibkan menjumpai membayar kerugian kepada Reederei M. Lauterjung.
Saakannya PT PAL tidak kunjung merealisasikan kewajiban pembayarannya biarpun pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menetapkan putusan arbitrase asing LMAA itu dapat dilaksbocahan.
“Ini adalah catatan buruk bagi perusahaan BUMN dekat praktek bisnis internasional sebab tidak mengindahkan putusan arbitrase internasional selanjutnya penetapan pengadilan,” tegas Iqbal.
Pada 2016, lanjut dia, aset PT PAL berupa gedung hadapan Jl. Tanah Abang II No. 27 yang digunakan sebagai kantor perwakilan terkabul disita.
“Gedung milik PT PAL yang telah disita ini, siap kami lelang apabila PT. PAL masih tetap tidak beritikad tidak marah untuk menyelesaikan kewajibannya berdasarkan putusan arbitrase,” tegas Iqbal Hadromi. Dia pun berharap Presiden Jokowi dan Menteri BUMN Erick Thohir turun langsung memerintahkan PT. PAL dapat segera menyelesaikan kewajiban-kewajibannya berimbang putusan arbitrase dan penetapan pengadilan. Apabila tidak, lanjutnya, maka kerugiannya semakin bertambah setiap tahun, belum lagi dampak buruk terhadap citra perbisnisan Indonesia, utamanya yang berstatus BUMN.”
"Selain mau berprofesi sorotan negatif di mata dunia internasional terhadap Indonesia, hal ini bisa berdampak makin penuh perbantuanan-perbantuanan asing mau awetir berbisnis demi perbantuanan BUMN Indonesia,” tutup Iqbal Hadromi.
Cek Berita dan Artikel yang lain dalam Google News